Jakarta, kpu.go.id- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Husni Kamil Manik menghadiri Simposium Internasional Filsafat Indonesia; “Mencari Sosok Filsfat Indonesia”, di Gedung Dikti Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, (19/9). Dalam kegiatan yang diprakasai Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri), Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Kemendikbud dan sejumlah pihak lainnya itu, Husni hadir sebagai salah satu pembicara. Ia mendapat kesempatan membahas seputar tema filsafat pemilu di Indonesia. Namun selaku Ketua KPU, Husni mengatakan bahwa apa yang akan ia sampaikan mungkin tak semuanya menggunakan pendekatan filsafat.Selain Husni, hadir pula dalam panel diskusi filosofis tematik dengan tema Politik yang dimoderatori oleh F. Budi Hardiman itu, di antaranya, K. Bertens, Mahfud MD, Ign. Haryanto, Harry Cahyadi, Triyono Lukmantoro, Daniel Dakidea, serta pemikir lain dari berbagai latar belakang.“Saya membayangkan jika pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan yang pernah tersebut di jazirah nusantara ini terpikirkan bagaimana melakukan regenarasi kepemimpinan secara terbuka, tidak tertutup sebagaimana dipraktikkan dalam monarki, maka nama negara kita bukanlah Indonesia. Melainkan mungkin saja bernama negara Majapahit, Sriwijaya, Kutai dan sebagainya,” kata Husni mengawali pembahasannya.Ia mengungkapkan, kerajaan-kerajaan di Indonesia ini, umumnya runtuh bukan akibat invasi dari kerajaan besar lainnya. Tetapi justu karena ketidakmampuan memimikirkan regenerasi kepemimpinan yang terbuka. “Mungkin saja terpikir, tapi mereka tidak mau karena egosentis klan atau pribadi-pribadi para penguasa waktu itu. Termasuk kerjaan Majapahit yang area kekuasaannya melampaui Indonesia hari ini, tidak memikirkan bagaimana keberlanjutannya bertumpu kepada rakyat. Tapi justru bertumpu pada kaum elit atau garis keturunannya,” ujar Husni.Kemudian, lanjutnya, Indonesia muncul sebagai anti tesis dari monarki, melalui gerakan-gerakan yang digalang para kaum terpelajar dan rakyat pada umumnya, dengan menawarkan bentuk negara republik. Tapi karena belum memiliki pengalaman, bentuk dari republik itupun dicari-cari, mana yang paling cocok dengan Indonesia. Husni menuturkan bahwa kegelisahan tentang regenarasi kepemimpinan itu sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka. “Siapa yang mau memulai kepemimpinan ini? Bagaimana nanti proses selanjutnya tentang kepemimpinan negara ini?”Empat bulan pasca kemerdekaan RI, Hatta mengeluarkan Maklumat X, yang memunculkan konsep pemilu yang bagus dan padat ide. “Ini adalah jawaban dari keresahan tentang bagaimana nanti kelanjutan akan pemerintahan atau pengelolaan negara. Dan itu masih sebatas ide. Maklumat X itu tidak bisa dijalankan sampai kemudian ada Pemilu 1955,” jelas Ketua KPU.Menurut Husni, Maklumat X itu seolah-olah merupakan kegelisahan sepihak dari Hatta dan pendukungnya. Sebab jika itu kegelisahan negara, maka semestinya yang mengeluarkannya adalah presiden. “Bahkan kemudian, Hatta, karena gelisah, keluar dari dwi tunggal penguasa. Lalu Soekarno berjalan sendiri dengan gagasan dan pemeliharaan letak kekuasaannya, tanpa melahirkan satu konsepsi bagaimana regenerasi selanjutnya. Hasil Pemilu 1955 pun dibubarkan oleh Soekarno,” kata Husni.“Andai kata sejak masa persiapan kemerdekaan itu cara pemilu ini telah ditemukan, saya kira Indonesia kemudian jauh lebih maju. Sehingga sekarang, kita tidak lagi berada dalam proses konsolidasi menuju demokrasi tapi sudah benar-benar demokrasi,” ungkap Husni.Setelah Orde Lama digantikan Orde Baru, Soeharto muncul sebagai Presiden RI yang kedua. “Perjalanan pelaksanaan pemilu yang dilakukan oleh semasa pemerintahan Soeharto dalam kurun waktu dia berkuasa, merupakan satu bentuk dekontruksi atas pemikiran Soekarno yang tidak mau diganti-ganti. Walaupun dari sisi itu bisa dikatakan sama, tapi Soeharto telah membentuk sebuah mekanisme lain, yang dianggap seakan-akan demokratis dan bertumpu kepada apa yang kemudian dalam sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,” papar Husni. Kegelisahan-kegelisahan yang mucul dari proses pemilu masa Orde Baru dan Orde Lama kemudian menjadi diskursus baru dan menghasilkan suatu yang baru juga sebagai sebuah konsensus berpikir. “Kalau Orde Baru menampilkan suatu asas pemilu yang dinyatakan sebagai hasil pemikiran yang tertinggi, yakni Langsung Umum Bebas dan Rahia (Luber). Ternyata pasca reformasi asas ini tidak cukup. Kemudian muncul gagasan dengan menambahkan asas Jujur dan adil. Ini sebuah pemikiran yang terus berkembang,” terang mantan Ketua KPU Sumatera Barat ini.Di akhir pemaparannya, Husni menceritakan pengalamannya saat berada di Amerika Serikat mengikuti proses pemilu tahun 2012. “Ketika diskusi terbatas, saya tanya kepada narasumber di sana, karena forumnya tidak satu, satu kali saya sempat berdiskusi di departemen luar negerinya, saya sampaikan dan saya tanya satu hal. Bagaimana orang Amerika bisa membangun satu budaya yang diapresiasi oleh dunia, dan saya kira itu menjadi budaya di amerika itu, yakni budaya siap atau secara tulus menerima kekalahan? Sebuah budaya yang sulit ditemukan di Indonesia.”“Mereka tidak terlalu mau menjawab secara terang detail dan terurai. Mereka hanya bilang bahwa budaya ini sudah dibangun berabad-abad sejak pemilu di Amerika ada. Jadi, mungkin karena kita baru menggelar pemilu presiden tiga kali, ya wajar lah kalau kemudian budaya ini belum muncul menjadi karakter budaya kita,” pungkas Husni. (bow/red. FOTO KPU/dam/Hupmas)