Berita Terkini

Demokrasi Itu Bermula dari Minahasa

Manado, kpu, go, id—Ketua KPU RI Husni Kamil Manik mengatakan Provinsi Sulawesi Utara merupakan bagian penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Embrio pemilihan umum pertama di Indonesia bermula dari Minahasa pada tahun 1951 untuk memilih 25 anggota DPRD.“Pemilu di DPRD Minahasa merupakan uji coba sebelum pelaksanaan pemilu nasional tahun 1955,” ujar Husni saat menyampaikan kuliah umum di hadapan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Kamis lalu (27/5). Dalam kuliah umum tersebut, Husni banyak mengupas tentang sejarah pemilu dan posisi KPU dalam kontek kekuasaan yang semakin dinamis dan berkembang.Husni menerangkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi Negara yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak memuat tentang pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum. “Diskusi pemilu dikesampingkan oleh para pendiri bangsa,” ujar Husni. Tetapi bukan berarti para pendiri bangsa tidak menginginkan adanya pemilu sebagai sarana sirkulasi kekuasaan. Mereka mengesampingkan pembahasan pemilu karena mereka ingin UUD 1945 itu memuat hal-hal yang sangat pokok saja. Besarnya perhatian para pendiri republik terhadap pentingnya pemilu sebagai mekanisme pengisian kekuasaan tercermin dari terbitnya Maklumat Nomor X Tahun 1945 tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai dasar pendirian partai politik dan penyelenggaraan pemilu. Terbitnya maklumat tersebut hanya selang 3 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. “Pemilu 1955 yang digelar 10 tahun setelah Indonesia merdeka dipandang oleh berbagai pihak sebagai pemilu paling demokratis. Masyarakat Indonesia memilih pemimpin dengan cara yang berbeda dengan budayanya, “ ujar Husni. Merujuk pada sejarah, sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, wilayah Indonesia telah terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan. “Hanya mereka-mereka yang berdarah bangsawan atau mengklaim dirinya sebagai darah bangsawan yang dapat menjadi pemimpin saat itu,” ujar Husni.Penyelenggaraan pemilu 1955, membalikkan budaya pengisian kekuasaan dan kepemimpinan yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara. Hal ini sesuai dengan pilihan para pendiri bangsa tentang bentuk Negara. “Mereka memilih republik dan bentuk Negara ini menganut asas-asas demokratis. Setiap orang adalah pemilik mandat dan berdaulat,” ujarnya. Pemilu merupakan mekanisme pengisian kekuasaan yang paling beradab. Semua memiliki posisi yang sama di depan hukum dan politik. Setiap orang berhak memilih dan dipilih untuk mengisi kursi kekuasaan. Quadro PolitikaPemilu 1955 dan pemilu orde baru, outputnya hanya lembaga perwakilan. Begitu juga pemilu pertama di era reformasi tahun 1999. Sementara cabang kekuasaan Negara yang harus di isi ada tiga, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada pemilu 2004, lingkup pemilu makin luas. Kekuasaan eksekutif nasional yaitu Presiden dan Wakil Presiden, pengisiannya dilakukan melalui pemilu. Demokrasi di aras lokal pun bersemi sejak tahun 2005, di mana kekuasaan eksekutif lokal seperti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota juga dipilih secara langsung oleh rakyat. “Di luar negeri ada juga cabang kekuasaan yudikatif yang dipilih melalui pemilu,” ujarnya.  Teori dan praktik penyelenggaraan pemilu yang terus berubah untuk pengisian tiga cabang kekuasaan itu, kata Husni telah mendorong munculnya cabang kekuasaan baru, yaitu penyelenggara pemilu. “Kalau dulu istilahnya Trias Politika, sekarang muncul istilah baru quadro politika,” ujar Husni. Di luar pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan lembaga peradilan, terdapat lembaga yang melakukan rekrutmen terhadap berbagai cabang kekuasaan tersebut, yakni Komisi Pemilihan Umum. Kekuasan badan penyelenggara pemilu di sejumlah Negara di dunia sangat kuat. Di Ekuador, penyelenggara pemilu itu sudah ditegaskan sebagai cabang kekuasaan baru. Sementara di India, selama penyelenggaraan pemilu, sipil dan militer berada di bawah kekuasaan penyelenggara pemilu. “Jadi incumbent yang sedang berkompetisi tidak bisa berbuat curang,” ujarnya. Begitu juga di Pakistan, jika pemilu gagal dilaksanakan, maka yang berwenang menunjuk pelaksana tugas Presiden adalah penyelenggara pemilu. Quadro politika, kata Husni, secara praktik sudah terjadi di berbagai Negara di dunia, tetapi secara teoritik belum memadai. Di Indonesia, posisi KPU sebagai bagian dari quadro politika masih abu-abu. Pemerintah dan DPR tidak menyebut KPU sebagai lembaga Negara, meskipun secara praktik posisi KPU sangat kuat. Sejak amandemen UUD 1945 dan penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, SK Presiden tidak lagi ditandatangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebab posisi MPR bukan lagi lembaga tertinggi Negara. Kini SK Presiden terpilih ditandatangani oleh Ketua KPU. “Semua pejabat Negara, SK nya ditandatangani oleh Presiden, sementara Presiden, SK-nya ditandatangani ketua KPU. Jadi secara praktik posisi KPU itu sudah kuat,” ujar Husni. (gd)

Nasib Calon Berstatus Bebas Bersyarat Tergantung Lapas

Manado, kpu, go, id—Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan polemik tentang status bebas bersyarat dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala tahun 2017 tidak akan terjadi lagi. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak perlu memeras otak untuk menginterpretasikan defenisi dan makna status bebas bersyarat. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota cukup merujuk surat keterangan yang diterbitkan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). “Isu bakal pasangan calon yang berstatus bebas bersyarat telah kami koordinasikan dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Verifikasinya akan lebih mudah. Rujukan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota cukup surat keterangan yang diterbitkan Lapas,” kata Komisioner Divisi Hukum dan Pengawasan KPU RI Ida Budhiati dalam acara rapat pimpinan nasional KPU se Indonesia dalam rangka persiapan pemilihan serentak tahun 2017. Ida Budhianti membeberkan pengalaman KPU dalam verifikasi bakal pasangan calon yang berstatas bebas bersyarat pada pilkada serentak 2015. Kata Ida, penjelasan dari setiap instansi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia  (Kemenkumham) tentang status bersyarat seseorang berbeda satu dengan yang lain. “Keterangan Bapas, Lapas dan dirjen pemasyarakatan berbeda-beda. Setelah kita koordinasi, maka keterangan seseorang itu sudah selesai menjalani hukuman atau belum itu adalah kewenangan Lapas,” ujarnya. KPU RI terus memperkuat regulasi penyelenggaraan pilkada, termasuk mekanisme pencalonan sembari menunggu revisi Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015. KPU menyadari tahapan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah sangat krusial dan menjadi salah satu potensi sumber sengketa yang dapat berlarut-larut. Kasus Kota Pematang Siantar di Sumatera Utara adalah satu contoh berlarut-larutnya sengketa penetapan pasangan calon sehingga pilkada yang seharusnya digelar tahun 2015, hingga sekarang masih tertunda. Syarat Dukungan Paslon Di luar itu, KPU RI juga memberikan resep tentang tata cara penghitungan syarat dukungan untuk pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah di daerah yang memiliki kursi DPRD di luar unsur partai politik seperti DPRP Papua Barat. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadi kesalahan dalam mekanisme penghitungan jumlah persyaratan pengajuan bakal pasangan calon yang dapat berujung menjadi sumber konflik dan sengketa tata usaha Negara pencalonan. “Cara menghitung persentase dukungan tidak hanya kursi hasil pemilu DPRD tahun 2014, tapi plus kursi yang diangkat,” jelas Ida Budhiati. Provinsi Papua Barat sebagai salah satu daerah otonomi khusus yang akan menggelar pilkada memiliki 56 kursi di DPRP. Sebanyak 45 kursi dari unsur partai politik yang dipilih pada pemilu 2014, sementara 11 kursi lainnya berasal dari unsur yang diangkat tanpa melalui proses pemilu. Berdasarkan keterangan Ketua KPU Papua Barat Amus Atkana, anggota DPRP dari unsur di luar parpol tidak melebur ke dalam fraksi-fraksi yang ada di DPRP, tetapi mereka membentuk fraksi sendiri. Amus berpandangan kekhususan Papua Barat hanya terletak pada keharusan calon gubernur adalah orang Papua Barat asli, yakni dari rumpun Melanesia. Pengecekan status keaslian itu dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua (MPR). “Ketentuan dalam Undang Undang Pilkada untuk menghitung dukungan itu kan 20 persen kursi atau 20 persen suara. Kalau 11 kursi itu mau dikonversi ke suara, ini akan sulit menghitungnya,” kata Amus. Ida Budhiati menegaskan perhitungan jumlah kursi untuk syarat pengajuan calon tidak boleh berdasarkan pada jumlah kursi yang dipilih saja. Hal itu sesuai dengan ketentuan Undang Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD. “Jadi tidak boleh ada pembedaan antara kursi yang dipilih dengan kursi yang diangkat,” tegasnya. Ida juga meminta KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota benar-benar mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XII/2015 yang mengoreksi basis data yang menjadi dasar penghitungan jumlah dukungan minimal calon perseorangan dari jumlah penduduk menjadi jumlah pemilih. Kecuali untuk Provinsi Aceh, dasar penghitungan jumlah dukungan minimal calon perseorangan tetap mengacu kepada jumlah penduduk sesuai ketentuan undang-undang otonomi khusus. Terkait adanya pemekaran sejumlah wilayah di tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan otomatis akan memengaruhi persebaran dukungan calon perseorangan. Sebaran minimal lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan lebih dari 50 persen jumlah kecamatan/distrik untuk pemilihan bupati/wali kota, akan mengalami perubahan. Untuk itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib mengecek legal formal pemekaran wilayah tersebut. “Pastikan wilayah pemekaran sudah terbit legal formalnya dan cek kode wilayahnya by dokumen, apakah sudah muncul atau belum,” ujar Ida Budhiati. Pemekaran wilayah yang sudah jelas legal formalnya dan pemerintah telah menerbitkan kode wilayahnya wajib menjadi acuan bagi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam menetapkan persebaran dukungan minimal calon perseorangan. (gd/red FOTO KPU/ftq/Hupmas)

KPU Upayakan Transparansi Anggaran Pilkada

Manado, kpu, go, id—Penyelenggaraan pemilu di Indonesia telah menjadi rujukan banyak Negara di dunia. Sejumlah praktik baik dalam penyelenggaraan pemilu, terutama transparansi merupakan aspek yang paling banyak diperbicangkan. Untuk itu, KPU RI berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dalam setiap penyelenggaraan pemilu, termasuk pilkada. “Banyak praktik baik yang dapat kita tularkan kepada Negara lain. Salah satunya aspek transparansi,” ujar Komisioner KPU RI Arief Budiman dalam rapat pimpinan nasional KPU RI dan KPU Provinsi se Indonesia, Jumat (27/5). Untuk itu, kata Arief, transparansi sebagai salah satu standar pemilu yang demokratis mesti terus ditingkatkan kualitasnya. “Semua proses pemilu telah transparan. Hasil penghitungan suara telah dipublikasi melalui situng. Yang belum kita publikasikan soal anggaran,” ujar Arief Budiman. Untuk lebih transparan di bidang anggaran, Arief Budiman menegaskan pihaknya akan mengumumkan daftar anggaran pembiayaan pilkada tahun 2017 kepada publik. Arief juga meminta KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan daftar anggaran pembiayaan pilkada di website masing-masing. Arief menyakini dengan transparansi anggaran pilkada, kredibilitas KPU di mata publik akan bertambah nilainya. “Public trust akan meningkat,” ujarnya. Dalam forum rapim, KPU RI juga menginventarisir permasalahan pembiayaan pilkada di 101 daerah yang akan menggelar pilkada tahun 2017. Berdasarkan pembacaan yang dilakukan oleh KPU RI terhadap dokumen NPHD daerah, terdapat sejumlah variasi data NPHD. Pertama ; jumlah anggaran pembiayaan pilkada yang diajukan sama dengan yang disetujui pemerintah dan kemudian dituangkan ke dalam NPHD. Kedua ; jumlah anggaran yang diajukan lebih besar dari yang disetujui pemerintah. “Misalnya diajukan sebesar Rp10 miliar, disetujui Rp9 miliar. Dan besaran Rp9 miliar itu sudah berdasarkan pembahasan bersama dan besaran itu riil kebutuhan pilkada,” kata Ketua KPU RI Husni Kamil Manik. Pola pembahasan anggaran semacam itu, katanya masih memakai pola lama, di mana yang mengajukan kebutuhan dana, mengajukannya di atas kebutuhan, sementara penyedia dana melakukan koreksi sesuai kebutuhan riilnya. “Klasifikasi kedua ini masih dapat memenuhi kebutuhan anggaran,” ujarnya. Varian ketiga adalah besaran pembiayaan pilkada yang disetujui dan dituangkan dalam NPHD jauh lebih kecil dari besaran pembiayaan yang diajukan KPU. Misalnya KPU mengajukan Rp200 miliar, tetapi yang disetujui dan dituangkan dalam NPHD sebesar Rp110 miliar. “Perbedaannya terlalu ekstrim dan perlu penjelasan. Apakah besaran itu sudah dibicarakan dengan pemerintah?. Apakah ada sharing anggaran dengan kabupaten/kota sehingga besaran anggaran provinsinya berkurang signifikan,” ujar Husni. Dinamika Pembahasan NPHD Pilkada Variasi data NPHD sejumlah daerah yang akan menggelar pilkada tahun 2017, akhirnya terungkap dalam forum rapat pimpinan KPU tersebut. Setelah mendengar penjelasan pembahasan biaya pilkada sampai penandatanganan NPHD, ternyata dinamika di setiap daerah berbeda. Ada yang berjalan mulus, tetapi ada juga yang berjalan sangat alot. Aceh sebagai salah satu provinsi dengan status otonomi khusus dan daerah yang menyelenggarakan pilkada cukup banyak, dari aspek pembiayaan telah terakomodir di dalam APBD dan telah dituangkan dalam NPHD. “Semua daerah yang pilkada di Aceh, yakni 1 provinsi dan 20 kabupaten/kota sudah menandatangani NPHD,” ujar terang Ketua KIP Aceh Ridwan saat menyampaikan laporan perkembangan pembiayaan pilkada di forum rapim. Pembiayaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh tahun 2017 ditetapkan sebesar Rp179,4 miliar. Namun yang tersedia dalam APBD murni baru sebesar Rp110 miliar. “Tapi pemerintah dan DPRA sudah sepakat mengalokasikan kekurangannya di APBD perubahan dan besaran Rp179,4 miliar itu sudah dituangkan di NPHD,” terang Ridwan. Ridwan menerangkan yang sedikit problem adalah Kabupaten Aceh Timur dan Nagan Raya. Penandatanganan NPHD Aceh Timur terpaksa di ambil alih oleh KIP Aceh karena anggota KIP  yang telah mendapat SK dari KPU RI belum kunjung dilantik oleh Bupati. DPRK Aceh Timur dalam rapat paripurnanya menolak anggota KIP baru yang ditetapkan KPU RI. Saat ini DPRK Aceh Timur tengah menggugat SK penetapan anggota KIP yang baru tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sementara di Jawa Barat terdapat hal yang menarik dalam pembahasan pembiayaan pilkada. Dari tiga daerah yang menggelar pilkada, dua daerah yakni Kota Cimani dan Kabupaten Bekasi, realisasi dana pilkada dalam NPHD lebih besar daripada pengajuan KPU. Misalnya Kota Cimahi, KPU mengajukan sebesar Rp27 miliar, sementara pemerintah daerahnya menyetujui sebesar Rp34 miliar. Menurut Ketua KPU Jawa Barat Yayat Hidayat, hal tersebut terjadi karena adanya penyesuaian besaran honor dengan regulasi baru tentang standar besaran honorarium pilkada serentak yang diatur oleh Kementerian Keuangan. “Kalau Tasikmalaya itu mengambil standar minimal, Kota Cimahi mengambil angka moderat, sementara Bekasi memakai nilai maksimal. Itu yang menjadi penyebab terjadinya kenaikan signifikan pembiayaan pilkada. Ada penyesuaian honor dengan standar yang dibuat oleh Kementerian Keuangan,” jelasnya.  Sementara DKI Jakarta yang berstatus daerah khusus dan akan menggelar pemilihan gubernur tahun 2017 telah menandatangani NPHD pembiayaan pilkada sebesar Rp478 miliar. Menurut Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno, besaran dana itu masih kurang dari kebutuhan sebesar Rp498 miliar. “Awalnya penyusunan anggaran pilkada itu merujuk ke Permendagri 44 Tahun 2015, kemudian terbit Permendagri Nomor 51 Tahun 2016 yang memperpanjang durasi tahapan dari 8 bulan menjadi 12 bulan. Makanya kita ajukan lagi penambahan sebesar Rp20 miliar lagi,” ujarnya. Pemerintah Provinsi dan DPRD DKI Jakarta, kata Sumarno, sudah menyetujui penambahan anggaran pilkada tersebut di APBD perubahan. Provinsi Banten yang juga akan menggelar pilkada tahun 20157 telah menandatangani NPHD sebesar Rp150 miliar dari kebutuhan sebesar Rp299,8 miliar. Ketua KPU Provinsi Banten Agus Supriyatna melaporkan kekurangannya akan diakomodir di APBD perubahan. “KPU, DPRD dan pemerintah telah sepakat untuk itu. Tapi komitmen itu tidak dituangkan di NPHD,” ujar Agus. Pemprov Banten beralasan tidak dapat secara langsung mengakomodir kebutuhan pembiayaan pilkada sebesar Rp299,8 miliar karena pemerintah sedang mempersiapkan pembentukan Bank Banten. Ketua KPU RI Husni Kamil Manik kembali menegaskan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus memastikan bahwa anggaran pilkada tersedia sesuai kebutuhan, sudah dituangkan dalam NPHD, jelas proses pencairannya dan anggaran tersebut diakomodir dimana. Menurut Husni hal itu penting sebagai dasar bagi KPU untuk memastikan komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan anggaran pembiayaan pilkada. “Kita kasih batas waktu sampai pembentukan badan adhoc. Kalau sampai pembentukan badan adhoc, anggaran yang disetujui belum sesuai kebutuhan, kita tinggal saja,” tegas Husni. (gd/red FOTO KPU/ftq/Hupmas)  

Anggaran, Kunci Utama Penyelenggaraan Pilkada

Manado, kpu, go, id—Ketersediaan anggaran merupakan indikator utama kesiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak tahun 2017. Bentuk konkretnya adalah penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) pembiayaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah antara KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di masing-masing daerah. Ketua KPU RI Husni Kamil Manik pada pembukaan rapat pimpinan nasional KPU RI dengan KPU Provinsi seluruh Indonesia di Manado, Kamis malam (26/5) dalam rangka  Persiapan Pelaksanaan Pemilihan Serentak Tahun 2017, mengatakan hingga batas akhir penanandatanganan NPHD pada 22 Mei 2016, masih tersisa satu daerah yang belum melakukan penandatanganan. Satu satker yang belum melakukan penandatanganan NPHD itu adalah Kabupaten Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. “Belum ada kesepakatan besaran nominal antara KPU dengan pemerintahnya,” ujar Husni. Menurut Husni, awalnya KPU Kabupaten Bolaang Mongondow mengajukan pembiayaan pilkada sebesar Rp25 miliar, tetapi yang disetujui pemerintah sebesar Rp19 miliar. “Awalnya Rp25 miliar, kemudian turun menjadi Rp24 miliar dan terakhir yang disetujui pemerintah hanya Rp19 miliar. Ini polanya pembahasannya seperti transaksi di pasar tradisional saja,” ujar Husni berkelakar. Karena besaran dana yang disetujui pemerintah belum sesuai dengan pengajuan KPU, akhirnya penandatanganan NPHD di daerah itu tertunda sampai sekarang. Husni juga membeberkan dari 101 daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2017, satker yang benar-benar tepat waktu melakukan penandatanganan NPHD sebanyak 96 satker. Daerah itu melakukan penandatanganan NPHD sesuai batas akhir 22 Mei 2016. Sementara 4 satker lainnya melakukan penandatanganan NPHD pada 26 Mei 2016. “Jadi ada yang molor empat hari dari batas waktu yang ditentukan,” jelas Husni. Pada kesempatan itu Husni juga menyampaikan hasil evaluasi penggunaan dana pilkada tahun 2015. Dari 268 daerah yang menggelar pilkada dengan nilai NPHD sebesar Rp5,99 triliun, realisasi anggarannya mencapai Rp4,77 triliun atau sebesar 79,76 persen. Anggaran yang dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp1,2 triliun. Pengembalian dana tersebut, kata Husni perlu didalami agar diperoleh penjelasan yang detail dan komprehenship. “Harus ada penjelasan, apakah pengembalian itu bersumber dari perencanaan anggaran yang tidak tepat atau dari pembiayaan yang tidak terprediksi seperti jumlah pasangan calon,” ujarnya. Selain pembiayaan pilkada, serapan anggaran KPU Tahun 2017 turut dibahas. Husni menyampaikan dari Rp2,3 triliun alokasi anggaran yang diterima, realisasinya baru mencapai Rp596,3 miliar atau 25,22 persen. Karena itu, kata Husni, semua satker harus menyusun rencana aksi pelaksanaan program dan anggaran secara efektif dan efesien. Dalam forum yang sama, Komisioner KPU RI Ferry Kurnia Rizkiyansyah menambahkan KPU Provinsi yang telah menyampaikan laporan penggunaan anggaran tahun 2016 berjumlah 18 provinsi. Sementara lima provinsi seperti Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua belum menginput realisasi anggarannya ke dalam sistem. Ferry juga menyampaikan lima daerah dengan penyampaian laporan keuangan tercepat, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Bangka Belitung, Jambi dan Sumatera Barat. “Mereka komunikasinya bagus dan menginput semua persediaan ke dalam sistem,” ujar Ferry. Pentingnya Menjaga Nilai Dasar Sementara Komisioner KPU RI yang membidangi Sumber Daya Manusia, Sosialisasi dan Partisipasi Pemilih Sigit Pamungkas menekankan pentingnya penyelenggara pemilu memegang kuat nilai dasar organisasi KPU, yaitu independensi, profesionalitas dan integritas. “KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota serta jajaran sekretariat kita ingatkan terus. Kalau tidak ingat dengan nilai dasar, jalannya bisa kemana-mana,” ujar Sigit. Sigit menambahkan cara kerja komisioner yang bersifat kolektif dan kolegial mesti dipertahankan. Kolektif kolegial itu bermakna bekerja sama layaknya sebuah tim. “Setiap rencana kerja dan permasalahan yang dihadapi dibicarakan bersama dan diputuskan bersama. Jangan sampai dibicarakan bersama, tetapi diputuskan sendiri,” ujarnya. Komisioner KPU yang membidangi Teknis, Hadar Nafis Gumay menyoroti kecepatan komunikasi KPU yang masih lambat. Padahal KPU memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi dengan cepat dan akurat sebagai bentuk pelayanan yang baik kepada para stakeholders. “Kita sudah punya banyak sekali fasilitas komunikasi seperti grup WhatSaap, sistem informasi dan milis-milis, tetapi tetap saja masih lambat,” ujarnya. Sementara Komisioner KPU yang membidangi Hukum dan Pengawasan Ida Budhiati menekankan pentingnya KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota membuka anggaran pembiayaan pilkada kepada publik.  Dengan keterbukaan itu, kata Ida, masyarakat akan memahami struktur anggaran pilkada, berapa besaran anggaran dan untuk apa peruntukannya, berapa yang dikelola KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan berapa yang digunakan untuk melayani hak konstitusional warga Negara. “Sikap transparan itu akan membantu kita,” ujarnya. (Gabriel/red FOTO KPU/ftq/hupmas)

Partisipasi Jadi Model KPU Untuk Susun Kebijakan

Jakarta, kpu.go.id – Sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai penyelenggara pemilihan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadikan partisipasi sebagai bagian dalam menyusun kebijakan dan evaluasi penyelenggaraan pemilihan, Rabu (25/5).Hal itu dikatakan oleh Anggota KPU RI, Sigit Pamungkas saat menerima kunjungan mahasiswa dan mahasiswi dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kampus Jakarta di ruang rapat utama KPU RI, Jalan Imam Bonjol Nomor 29, Jakarta.“Partisipasi menjadi bagian model KPU dalam membuat kebijakan sekaligus melakukan evaluasi. Kami melibatkan partai (partai politik peserta pemilihan), para ahli dari lembaga penelitian, akademisi, atau aktivis, dan diluar stakeholder utama kami melibatkan pemerintah, serta penyelenggara pemilu sendiri,” jelas Sigit.Hal itu dilakukan untuk mendapatkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai tepat atau tidaknya kebijakan dan fokus evaluasi yang telah dirumuskan oleh KPU.“Jadi dalam mengambil kebijakan, seperti peraturan KPU, sebelumnya kami pasti mengundang berbagai pihak, civil society, dan partai untuk memberi masukan apakah program yang kami susun ini sudah tepat atau belum,” lanjut Sigit.Dari respon pihak-pihak terkait itulah KPU akan menyusun kebijakan berdasarkan masukan yang sebelumnya telah didapat. Sigit mengatakan, model tersebut terbukti mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap KPU dalam kurun waktu 9 tahun terakhir.“Nanti respon dari user, expert dan dari penyelenggara pemilu itu disatukan menjadi evaluasi. Dan alhamdulillah dari survey awal tahun 2005 yang 60-an persen, selesai Pemilu 2014 kepercayaan publiknya menjadi 80 persen sekian,” ujar dia.Mengenai hasil evaluasi, apabila proses pengambilan keputusan berada pada ranah KPU, KPU akan memasukkan hasil evaluasi tersebut ke dalam peraturan KPU, tetapi jika hasil evaluasi tersebut di luar ranah KPU untuk mengambil kebijakan, KPU akan memberikan hasil itu kepada DPR sebagai kajian referensi dalam menyusun undang-undang.Penggunaan IT dan Transparansi Dalam PemiluMerespon pertanyaan salah satu mahasiswa Unhas mengenai e-voting dalam pemilu, Sigit mengatakan, sistem yang sempat tenar dalam 6 tahun terakhir itu kini mulai ditingggalkan karena rawan dari segi keamanan dan supervisi.Meski belum menerapkan sistem e-voting, Sigit mengungkapkan bahwa keterbukaan KPU dalam menyajikan hasil scan formulir C1 dalam pemilihan mendapatkan perhatian dunia, karena sistem itu belum pernah diterapkan sebelumnya.“Keterbukaan kita (KPU) dalam menghadirkan data autentik hasil pemilihan per TPS ini sekarang mendapat perhatian banyak negara. Tidak pakai e-voting tetapi menunjukkan hasil per TPS sekarang menjadi kajian menarik, karena ini pertama kali dalam sejarah pemilu di dunia, dan itu di negara anda,” kata Sigit kepada mahasiswa Unhas dan IPDN.Sigit menambahkan, sistem yang dikembangkan oleh KPU ini bahkan mulai diterapkan oleh negara-negara lain dalam menggelar pemilihan.“Beberapa negara Timur Tengah belajar demokrasi ke KPU, beberapa negara Asia Tenggara yang kemarin menyelenggarakan pemilu juga ke KPU, dan sebagian besar sudah mengadopsi sistem yang dipakai oleh KPU,” tuturnya. (rap/red. FOTO KPU/ilham/Hupmas)