Untuk itu KPU, mulai dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota bukan hanya menggencarkan sosialisasi normatif dalam bentuk iklan, spanduk, dan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS), tetapi juga menyiapkan strategi khusus yaitu merekrut Relawan Demokrasi (Relasi) sebanyak 25 orang di tiap KPU Kab/Kota di seluruh Indonesia. Relasi tersebut berasal dari lima pemilih strategis yang jumlahnya signifikan, namun selama ini terpinggirkan karena belum dikelola dengan baik oleh penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. Mereka adalah pemilih pemula, kelompok agama, perempuan, penyandang disabilitas, dan pemilih kelompok masyarakat marginal (buruh, petani, pedagang kaki lima, dll). Para Relasi itulah yang nantinya menjadi sosialisator terdepan di kelompoknya masing-masing untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih.Mereka mulai bekerja sejak awal 2014 yang akan dibekali dengan modul sosialisasi dan kemampuan teknis lain, sehingga bisa menjalankan tugasnya secara optimal. Hal itu dipaparkan oleh Komisioner KPU Sumut Divisi Teknis Penyelenggara, Benget Silitonga, dalam acara Pelatihan Feature Pemilu Bagi Jurnalis, "Pemilih Marginal Dalam Sorotan Media" di Hotel Kanaya, Medan, Senin (13/1). Pelatihan ini diselenggarakan Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) bekerjasama dengan Agency for Technical Cooperation and Development (ACTED) dan didukung Uni Eropa. Dalam kaitan itu, di tengah apatisme publik terhadap pemilu dan mengingat peran strategis jurnalis dalam liputan pemilu, Benget Silitonga menyambut baik acara yang digagas KIPPAS tersebut. "Bagaimanapun isu-isu kelompok marginal kerap luput dari pemberitaan di setiap penyelenggaraan pemilu. Karenanya menyikapi Pemilu 2014 yang sudah semakin dekat, peran media massa sangat penting untuk mempublikasikan dan mengadvokasi isu-isu kelompok marginal tersebut. Dengan adanya liputan mendalam terhadap kelompok pemilih tersebut maka partisipasi mereka untuk memilih kemungkinan besar juga akan meningkat", ujar Benget.Hal itu diamini Direktur Eksekutif KIPPAS, J Anto. Menurutnya, jurnalis bisa menangkap dan mendeskripsikan apa yang dialami kaum tunanetra dan orang yang mengenakan kursi roda saat hari H pemilihan, ataupun kegamangan para pemilih pemula. Melalui feature, jurnalis bisa membangkitkan emosi publik dibanding hanya melalui straight news yang lugas. Untuk membuat sebuah feature yang 'hidup' dan mampu membangkitkan emosi dan simpati publik, jurnalis mesti memiliki sebuah keterampilan. "Jurnalis harus bisa memulai dari identifikasi konseptual tentang apa yang dimaksud dengan feature, memilih isu dan angle yang penting dan menarik, memilih kutipan yang bernas, merekam situasi dan mengejawantahkannya ke dalam teks melalui deskripsi yang kuat, hingga jadilah sebuah tulisan yang menarik dan menggugah,” ungkap J Anto.Dikatakannya, pelatihan bagi jurnalis dari berbagai media ini sekaligus bertujuan meningkatkan pengetahuan wartawan mengenai proses, tahapan, potensi konflik, dan sistem Pemilu 2014. Melalui pelatihan ini diharapkan keterampilan wartawan cetak dan online dalam memproduksi feature akan semakin meningkat. ”Kita mempersiapkan rencana liputan feature Pemilu 2014 yang berorientasi pada masyarakat, mulai dari latar belakang masalah, angle, daftar pertanyaan, narasumber, lama liputan, dan pelaporan," jelas J Anto. (bgt)