
Delegitimasi, Area Hoaks Tanpa Fakta Sama Sekali
Jakarta, kpu.go.id – Penyebaran berita bohong (hoaks) pada penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 sangat signifikan. Isu tidak benar yang disebarkan oleh pihak tidak bertanggungjawab ini tidak hanya menyerang para peserta pemilu tapi juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara. Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi mengidentifikasi setidaknya ada dua macam hoaks yang menerpa lembaganya, pertama hoaks mendisinformasi fakta yang diglorifikasikan dan hoaks yang sama sekali tidak ada faktanya. “Delegitimasi ini masuk ke dalam area hoaks yang tanpa fakta sama sekali tersebut,” ujar Pramono dalam diskusi pers yang diselenggarakan oleh Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), di Media Centre KPU RI, Jumat (15/3/2019). Pramono melanjutkan, hoaks yang diglorifikasikan contohnya isu 14 juta orang gila masuk DPT, yang faktanya memang KPU mendata penyandang disabilitas mental atau tunagrahita, namun jumlahnya hanya sekitar 54 ribu. Kemudian isu 31 juta DPT, yang faktanya angka tersebut merupakan hasil analisis Kemendagri yang setelah dilakukan coklit terbatas hanya 6 juta. Hoaks disinformasi seperti ini menurut dia diklarifikasi oleh lembaganya sebagai counter hoaks. “Sedangkan isu 7 kontainer surat suara tercoblos itu yang termasuk hoaks tanpa fakta sama sekali, kita sudah cek dan tidak ada kontainer yang dimaksud. Hal ini yang penanganannya berbeda dan KPU mengambil langkah hukum, mengingat hal tersebut sama sekali tidak dilakukan oleh KPU dan hal semacam ini berada di area delegitimasi,” jelas Pramono. Diskusi yang mengambil tema “Delegitimasi Penyelenggara Pemilu: Fakta atau Hoax ?” juga diikuti oleh Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) DKI Jakarta Dahliah Umar, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Sigit Pamungkas dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Pramono dalam diskusi tersebut berharap semua bisa membedakan antara kebebasan berekspresi dan berdemokrasi, karena berdemokrasi itu ada pertanggungjawaban dan penghormatan kepada orang lain, bukan memaki-maki dan menjelek-jelekan. Untuk itu, jika hanya dituduh terkait orang gila 14 juta, KPU hanya klarifikasi dan hal tersebut wajar dalam konteks politik, tetapi jika tuduhan-tuduhan yang tanpa fakta dan sama sekali tidak dilakukan KPU, maka KPU mengambil langkah hukum. “Ini tantang buat KPU juga terkait inform foters, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan informasi yang cukup. Beberapa waktu yang lalu ada survey yang hasilnya masih ada pemilih belum tau hari dan tanggal pemilu. Kemudian disisi lain ada yang mendistorsi informasi kepemiluan, dan bagi sebagian orang, kebohongan yang diulang bisa dianggap benar,” pungkas Pramono. (hupmas kpu arf/foto: ieam/ed diR)