
Penyelenggaraan Pilpres Telah Sesuai Prinsip-prinsip Demokratis
Jakarta, kpu.go.id- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kemitraan (Pathnership for Governance Reform) menggelar evaluasi proses Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 di ruang Media Center KPU, Senin (4/8). Hadir sebagai pembicara Prof. Ramlan Surbakti, selaku Senior Advisor Kemitraan bidang kepemiluan dan Wahidah Suaib selaku Penasihat Pemantau Kemitraan.
Pada sesi pertama, Ramlan memaparkan tujuh parameter dalam menilai penyelenggaraan Pilpres 2014 sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis. Ketujuh parameter tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945, pernyataan tentang prinsip dan nilai electoral justice dalam Deklarasi Accra, serta prinsip eletoral integrity dari Komisi Global tentang Pemilu, Demokrasi dan Keamanan.
“Meski masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), namun secara umum delapan tahapan Pilpres 2014 telah selesai dilewati. Karena itu, Kemitraan memberi penilaian terhadap pelaksanaan Pilpres 2014 berdasarkan tujuh parameter pemilu yang demokratis,” jelas Ramlan.
Parameter pertama kesetaraan warga negara dijamin. “Menurut perkiraan kami, sekitar 90-97% WNI yang berhak memilih telah terdaftar di DPT Pilpres 2014 dan setiap pemilih dihitung secara transparan,” ungkap mantan anggota KPU 2004-2009 itu.
Kedua, kepastian hukum. Terdapat sejumlah ketidakpastian hukum dalam proses penyelenggaraan Pilpres 2014 yang telah diperbaiki. Seperti, penggunaan hak pilih anggota TNI dan Polri yang telah dipastikan MK, tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres di PPS yang telah dipastikan melalui Peraturan KPU berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2011, dan masalah kriteria keterpilihan pasangan capres-cawapres telah dipastikan oleh MK.
Ketiga, persaingan pasangan calon secara bebas dan adil. Menurut penelitian dan kajian Kemitraan, masing-masing pasangan calon telah mendapat kesempatan yang sama, baik dalam debat capres-cawapres, pemasangan iklan di media cetak, online maupun eletronik. Kedua pasangan calon juga melaporkan kekayaan pribadi dan dana kampanye secara tepat waktu. “Hanya kami punya dua catatan, yaitu meluasnya kampanye hitam serta pemberitaan melalui media massa, terutama televisi, masih ada beberapa yang kurang berimbang,” jelas Ramlan.
Paramater keempat, partisipasi masyarakat. Ini merupakan hal yang paling menonjol dari Pilpres 2014. “Partisipasi berbagai unsur masyarakat, pemilih dalam dan luar negeri, relawan, seniman, lembaga survei, dan media massa, dalam penyelenggaraan Pilpres amat sangat besar, dengan semangat relawan. Ini terlihat diantaranya dari antusiasme masyarakat untuk mengampanyekan pasangan calon pilihannya,” ungkap Ramlan.
Menyikapi lebih rendahnya persentase pemilih Pilpres 2014 dibandingkan Pemilu Legislatif (Pileg), Ramlan menyatakan itu bukan fenomena baru. Pada pemilu 2004 dan 2009 juga demikian. “Ini bisa dipahami karena pada Pileg calonnya amat sangat banyak, ratusan ribu, dan telah menyapa calon pemilih sejak setahun sebelumnya. Tapi kualitas partisipasi masyarakat dalam Pilpres lebih tinggi. Salah satunya partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam merekam dan mempublikasikan sertifikat hasil penghitungan suara formulir C1,” kata Ramlan
Kelima, penyelenggara pemilu dalam penilaian kami sudah independen, transparan, akuntabel dan melayani pemilih. Terdapat beberapa hal yang menurut Ramlan menonjol dalam Pilpres 2014 ini. “Ada inovasi dari KPU yang belum pernah ada negara di dunia ini yang menerapkan. Yaitu KPU mendorong dan mengizinkan semua pihak merekam hasil pemungutan dan penghitungan suara. Data yang resmi tentu hanya di KPU, tapi kita lihat, Bawaslu punya, kelompok-kelompok masyarakat punya, bahkan TNI dan Polri juga punya,” kata Ramlan.
Keenam, integritas proses pemungutan, penghitungan serta rekapitulasi hasil penghitungan suara. Dalam Pilpres ini bisa diukur dari proses pemungutan dan penghitungan suara, yang secara umum telah sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel. Untuk kelompok pemilih berkebutuhan khusus juga telah dilayani dengan baik oleh KPU pada Pilpres dibandingkan dengan Pileg lalu.
Ketujuh, penyelesaian sengketa pemilu. Ada dua macam, model punitif dan korektif. Pada model punitif penyelesaiannya melalui penegak hukum dan DKPP, sebagaimana saat ini masih sedang berlangsung. Sedangkan model korektif, yang menonjol ialah tiap ada keberatan pengaduan direspon oleh Bawaslu dengan rekomendasi kepada KPU. Kemudian KPU merespon dengan perbaikan pemungutan suara ulang atau penghitungan hasil suara ulang. Hal ini karena KPU dan Bawaslu melakukan keterbukaan sesuai perintah UU. “Penyelesaian model korektif lainnya melalui MK. Ini yang sekarang sedang berlangsung. Kita tunggu keputusan MK, kalau memang gugatan itu terbukti, maka KPU harus mengoreksi keputusannya,” ujar Ramlan.
Diukur dari tujuh parameter tersebut, Ramlan menyatakan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 secara umum sudah sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis. “Kami sebut secara umum, karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang pemilunya 100% bersih tanpa cacat,” tegasnya.
Sementara itu, Wahidah Suaib, memaparkan mengenai pembelajaran yang dapat diambil dari Pilpres 2014. Dituturkannya, KPU telah menghasilkan suatu good practice dalam penyelenggaraan Pemilu. Diantaranya, respon KPU setiap ada rekomendasi dari Bawaslu, kemudian semua pihak diizinkan dan didorong merekam serta memublikasikan hasil pemungutan dan penghitungan suara setiap TPS, serta hasil rekapitulasi penghitungan suara mulai dari tingkat PPS hingga nasional.
Wahidah menyatakan bahwa Kemitraan melihat KPU sudah meletakkan prinsip-prinsip transparansi yang jauh lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya. “Diantara transparansi yang menurut kami patut diapresiasi ialah inovasi KPU yang memublikasikan semua CV calon legislatif pada Pileg lalu, publikasi form C1 dan D1, baik untuk Pileg maupun Pilpres. Hal ini memungkinkan semua pihak ikut mengawal perolehan suara dari TPS sampai ke pusat,” ujar mantan komisioner Bawaslu 2009-2013. (bow/red. FOTO KPU/aul/Hupmas)
Pada sesi pertama, Ramlan memaparkan tujuh parameter dalam menilai penyelenggaraan Pilpres 2014 sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis. Ketujuh parameter tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945, pernyataan tentang prinsip dan nilai electoral justice dalam Deklarasi Accra, serta prinsip eletoral integrity dari Komisi Global tentang Pemilu, Demokrasi dan Keamanan.
“Meski masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), namun secara umum delapan tahapan Pilpres 2014 telah selesai dilewati. Karena itu, Kemitraan memberi penilaian terhadap pelaksanaan Pilpres 2014 berdasarkan tujuh parameter pemilu yang demokratis,” jelas Ramlan.
Parameter pertama kesetaraan warga negara dijamin. “Menurut perkiraan kami, sekitar 90-97% WNI yang berhak memilih telah terdaftar di DPT Pilpres 2014 dan setiap pemilih dihitung secara transparan,” ungkap mantan anggota KPU 2004-2009 itu.
Kedua, kepastian hukum. Terdapat sejumlah ketidakpastian hukum dalam proses penyelenggaraan Pilpres 2014 yang telah diperbaiki. Seperti, penggunaan hak pilih anggota TNI dan Polri yang telah dipastikan MK, tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres di PPS yang telah dipastikan melalui Peraturan KPU berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2011, dan masalah kriteria keterpilihan pasangan capres-cawapres telah dipastikan oleh MK.
Ketiga, persaingan pasangan calon secara bebas dan adil. Menurut penelitian dan kajian Kemitraan, masing-masing pasangan calon telah mendapat kesempatan yang sama, baik dalam debat capres-cawapres, pemasangan iklan di media cetak, online maupun eletronik. Kedua pasangan calon juga melaporkan kekayaan pribadi dan dana kampanye secara tepat waktu. “Hanya kami punya dua catatan, yaitu meluasnya kampanye hitam serta pemberitaan melalui media massa, terutama televisi, masih ada beberapa yang kurang berimbang,” jelas Ramlan.
Paramater keempat, partisipasi masyarakat. Ini merupakan hal yang paling menonjol dari Pilpres 2014. “Partisipasi berbagai unsur masyarakat, pemilih dalam dan luar negeri, relawan, seniman, lembaga survei, dan media massa, dalam penyelenggaraan Pilpres amat sangat besar, dengan semangat relawan. Ini terlihat diantaranya dari antusiasme masyarakat untuk mengampanyekan pasangan calon pilihannya,” ungkap Ramlan.
Menyikapi lebih rendahnya persentase pemilih Pilpres 2014 dibandingkan Pemilu Legislatif (Pileg), Ramlan menyatakan itu bukan fenomena baru. Pada pemilu 2004 dan 2009 juga demikian. “Ini bisa dipahami karena pada Pileg calonnya amat sangat banyak, ratusan ribu, dan telah menyapa calon pemilih sejak setahun sebelumnya. Tapi kualitas partisipasi masyarakat dalam Pilpres lebih tinggi. Salah satunya partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam merekam dan mempublikasikan sertifikat hasil penghitungan suara formulir C1,” kata Ramlan
Kelima, penyelenggara pemilu dalam penilaian kami sudah independen, transparan, akuntabel dan melayani pemilih. Terdapat beberapa hal yang menurut Ramlan menonjol dalam Pilpres 2014 ini. “Ada inovasi dari KPU yang belum pernah ada negara di dunia ini yang menerapkan. Yaitu KPU mendorong dan mengizinkan semua pihak merekam hasil pemungutan dan penghitungan suara. Data yang resmi tentu hanya di KPU, tapi kita lihat, Bawaslu punya, kelompok-kelompok masyarakat punya, bahkan TNI dan Polri juga punya,” kata Ramlan.
Keenam, integritas proses pemungutan, penghitungan serta rekapitulasi hasil penghitungan suara. Dalam Pilpres ini bisa diukur dari proses pemungutan dan penghitungan suara, yang secara umum telah sesuai dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel. Untuk kelompok pemilih berkebutuhan khusus juga telah dilayani dengan baik oleh KPU pada Pilpres dibandingkan dengan Pileg lalu.
Ketujuh, penyelesaian sengketa pemilu. Ada dua macam, model punitif dan korektif. Pada model punitif penyelesaiannya melalui penegak hukum dan DKPP, sebagaimana saat ini masih sedang berlangsung. Sedangkan model korektif, yang menonjol ialah tiap ada keberatan pengaduan direspon oleh Bawaslu dengan rekomendasi kepada KPU. Kemudian KPU merespon dengan perbaikan pemungutan suara ulang atau penghitungan hasil suara ulang. Hal ini karena KPU dan Bawaslu melakukan keterbukaan sesuai perintah UU. “Penyelesaian model korektif lainnya melalui MK. Ini yang sekarang sedang berlangsung. Kita tunggu keputusan MK, kalau memang gugatan itu terbukti, maka KPU harus mengoreksi keputusannya,” ujar Ramlan.
Diukur dari tujuh parameter tersebut, Ramlan menyatakan bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 secara umum sudah sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis. “Kami sebut secara umum, karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang pemilunya 100% bersih tanpa cacat,” tegasnya.
Sementara itu, Wahidah Suaib, memaparkan mengenai pembelajaran yang dapat diambil dari Pilpres 2014. Dituturkannya, KPU telah menghasilkan suatu good practice dalam penyelenggaraan Pemilu. Diantaranya, respon KPU setiap ada rekomendasi dari Bawaslu, kemudian semua pihak diizinkan dan didorong merekam serta memublikasikan hasil pemungutan dan penghitungan suara setiap TPS, serta hasil rekapitulasi penghitungan suara mulai dari tingkat PPS hingga nasional.
Wahidah menyatakan bahwa Kemitraan melihat KPU sudah meletakkan prinsip-prinsip transparansi yang jauh lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya. “Diantara transparansi yang menurut kami patut diapresiasi ialah inovasi KPU yang memublikasikan semua CV calon legislatif pada Pileg lalu, publikasi form C1 dan D1, baik untuk Pileg maupun Pilpres. Hal ini memungkinkan semua pihak ikut mengawal perolehan suara dari TPS sampai ke pusat,” ujar mantan komisioner Bawaslu 2009-2013. (bow/red. FOTO KPU/aul/Hupmas)
Bagikan:
Telah dilihat 6,863 kali